Rabu, 15 April 2020

Struktur Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD 1945

Wawan Setiawan Tirta
Struktur Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD 1945 (perubahan keempat)
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan mendasar sejak perubahan pertama pada Tahun 1999 sampai dengan perubahan ke empat pada Tahun 2002. Perubahan-tersebut sangat mendasar. Sebelum perubahan ada 71 (tujuh puluh satu) butir ketentuan, setelah perubahan menjadi 199 (seratus sembilan puluh sembilan) butir ketentuan. Dari 71 ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan, hanya 25 ketentuan yang tidak diubah. Dengan demikian ada 174 ketentuan baru dalam UUD 1945 hasil perubahan keempat. Luasnya perubahan UUD 1945 mengakibatkan banyak ketentuan hukum & fungsi lembaga yang Negara harus disesuaikan.

1. Penggunaan Istilah & Definisi Lembaga Negara
Istilah lembaga negara dalam konstitusi di Indonesia tidak pernah konsisten (tetap) karena selalu berubah-ubah dalam setiap UUD yang berlaku di Indonesia disesuaikan dengan bentuk & kondisi (politik) negara. Dalam Konstitusi RIS dikenal istilah alat-alat kelengkapan federal, sedangkan dalam UUD Sementara (UUDS 1950) dikenal istilah alat-alat kelengkapan negara, & dirinci apa saja yang termasuk lembaga negara. Akan tetapi istilah lembaga negara dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) tidak secara implisit terdapat dalam ketentuan-ketentuannya.

Dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) istilah lembaga negara tidak disebut secara tegas. Istilah lembaga negara pertama kali muncul seiring dengan keluarnya Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR Gotong Royong mengenai Sumber Tertib Hukum RI & Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan RI, dengan skema kedudukan suprastruktur lembaga ketatanegaraan, muncul istilah lembaga tertinggi negara (MPR) & lembaga tinggi negara (Presiden, DPR, MA, BPK, & DPA), kemudian diperkuat kembali dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978.

Istilah lembaga negara juga bukan merupakan konsep yang secara terminologis tunggal & seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, ia disebut dengan istilah political institusion, sedangkan dalam bahasa Belanda terdapat istilah staat organen. Sedangkan dalam bahasa Indonesia menggunakan kata ―lembaga negara”, ―badan negara” atau organ negara (Pendapat Sri Soemantri dalam transkrip Diskusi Publik,-Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 194”, Komisi Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, 9 September 2004).

Perbedaan istilah tersebut akan berakibat pada fungsi penyelenggaraan negara & pemerintahan. Istilah yang berbeda harus dapat menunjukkan bahwa suatu lembaga bersifat tetap atau sementara, lebih condong sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, legislatif atau yudikatif.

Dalam praktek ketatanegaraan, penamaan atau penyebutan lembaga negara mempunyai penyebutan yang beraneka ragam, ada yang disebut dengan kata majelis seperti MPR, ada yang menggunakan kata dewan seperti DPR & DPD, ada yang menggunakan kata Mahkamah seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, ada yang menggunakan kata badan, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada yang memakai kata komisi seperti Komnas HAM, KPK & lain sebagainya.

Istilah lembaga negara baru disebut secara implisit pada UUD 1945 paska perubahan yaitu dalam Pasal 24C ayat (1) yang berbunyi ― Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili …, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD…”. Dari ketentuan tersebut lebih jelas apa yang dimaksud dengan lembaga negara yaitu sebuah lembaga atau institusi negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD walaupun tidak disebutkan nama institusinya seperti pada UUD sebelumnya. Lembaga negara yang lembaganya tercantum dalam UUD 1945 paska perubahan adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden & Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum & Komisi Yudisial.

Terhadap ketentuan tersebut permasalahan tetap timbul sehubungan dengan tidak adanya struktur ketatanegaraan tentang lembaga-lembaga negara menyebabkan tidak diketahuinya kedudukan masing-masing lembaga negara. Penggunaan kata atau frasa ―yang kewenangannya diberikan negara” dapat ditafsirkan bermacam-macam apakah yang dimaksud dengan lembaga negara adalah lembaga yang harus secara implisit terdapat dalam ketentuan UUD atau cukup eksplisit. Hal itu lebih rumit lagi apabila dikaitkan praktek ketatanegaraan dewasa ini dengan banyaknya lembaga-lembaga independen yang dibentuk, seperti Komisi Ombudsman, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi & lain sebagainya, apakah mereka juga termasuk lembaga negara.

Akan tetapi berdasarkan kewenangan yang diperoleh, ketentuan tersebut dapat juga ditafsirkan terdapat lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan demikian terdapat dua jenis lembaga negara berdasarkan penafsiran pemberian kewenangan yaitu;
  1. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; &
  2. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam konteks sekarang di Indonesia memang terdapat lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yaitu; MPR, DPR, DPD, Presiden & Wakil Presiden, MA, MK, Komisi Yudisial. Ada lembaga negara yang dibentuk dengan undang-undang antara lain : Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum & lain sebagainya. Disamping itu terdapat pula lembaga negara yang semula dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden tetapi kemudian dengan undang-undang misalnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) (UU 39 Tahun 1999), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Ombudsman, Komisi Nasional Perlindungan Anak. Terdapat pula komisi (sebagai lembaga negara) yang telah dibubarkan yaitu Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN).

Keadaan tersebut diperkuat lagi dengan keputusan MK yang berkaitan dengan penjelasan tentang Komisi Penyiaran Indonesia sebaga ―Lembaga Negara (Keputusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-I/2003 tentang Perkara Permohonan Pengujian UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Terhadap UUD 1945, hal 3-4.)

Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran disebutkan bahwa KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Pemohon (Ikatan Jurnalis Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara Indonesia (PERSUSI), dan Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE)), pada intinya menanyakan status KPI sebagai lembaga negara (konstitusional atau inkonstitusional).

Sehubungan adanya permohonan tersebut hakim Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan bahwa terdapat dua pembedaan makna yang signifikan dari penyebutan lembaga negara dengan menggunakan huruf kecil & huruf kapital pada L & N yang disebut ―Lembaga Negara tidak sama dengan l & n yang disebut ―lembaga negara”. Penyebutan suatu lembaga negara (dengan huruf kecil), tidak berarti memberikan status ―Lembaga Negara” pada lembaga yang bersangkutan. Dalam pertimbangannya KPI sebagai lembaga negara semata-mata karena melaksanakan fungsi & kewenangannya mendapatkan sumber dana dari negara melalui mekanisme yang berlaku yaitu APBN.

Selanjutnya, dalam amar putusan MK tentang kasus ini, “MK menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah ―lembaga negara” tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam UUD 1945 saja, atau yang dibentuk dengan dasar perintah konstitusi, tapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti undang-undang & bahkan keputusan presiden.

Agar terjadi kejelasan mengenai istilah & definisi lembaga negara serta mempunyai ketentuan yang bersifat otentik, lembaga negara haruslah diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan mengenai lembaga negara yang memberikan arahan apa & siapa lembaga negara, bagaimana cara pengangkatan atau pengisian pejabat-pejabat lembaga-lembaga negara yang bersangkutan, tugas & wewenang serta kedudukan lembaga negara, tatacara pembubaran suatu lembaga negara, & hubungan antar lembaga negara yang ada.

Dari diskusi secara intensif tim Analisa & Evaluasi Hukum mengenai Lembaga-Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945 membuat batasan atau lingkup definisi lembaga negara adalah lembaga atau organisasi kekuasaan yang mempunyai peranan dalam pencapaian tugas negara sebagai akibat terjadinya pembagian kekuasaan (distrubution of powers) & yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.

Dari definisi tersebut, lembaga negara di Indonesia meliputi : Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden & Wakil Presiden, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pemerintah Daerah (Pemda), & Komisi Yudisial.

2. Kedudukan
Ketidak jelasan definisi lembaga negara berimbas pada lembaga mana yang masuk lembaga negara & mana yang bukan, mana yang berarti harus ada dalam sistem ketatanegaraan dengan mengacu pada asas Trias Politica (Legislatif, Eksekutif, & Yudikatif) atau mana yang hanya merupakan lembaga pendukung (yang kalaupun tidak ada pemerintahan negara tetap bisa berlangsung), belum jelas. Akibatnya kedudukan lembaga-lembaga tertentu kedudukannya belum jelas dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

Kedudukan lembaga yang tidak jelas karena hanya dilihat dari sisi kewenangannya saja, begitu pula tingkatan masing-masing belum jelas. Hal itu dapat menimbulkan hal-hal yang kurang harmonis dalam kehidupan ketatanegaraan, adanya berbagai lembaga dengan label komisi yang mempunyai sifat independen menimbulkan pertanyaan apabila dikaitkan dengan suprastruktur ketatanegaraan. Sebagai contoh apakah kedudukan MK lebih tinggi dari Pemerintah & DPR khususnya dalam kaitan dengan undang-undang, MK dapat membatalkan UU yang dibuat oleh DPR bersama-sama dengan pemerintah dengan biaya & waktu yang tidak sedikit.

Apabila dikaitkan dengan sistem kepresidenan (Presidensial) yang dianut di Amerika Serikat, dalam upaya melaksanakan asas Trias Politica yang murni, mereka tetap hanya memiliki lembaga negara (suprastruktur) sedikit, masing-masing lembaga negara dibantu dengan lembaga pendukung. Congress mempunyai lembaga pendukung Senate House, General Accounting Office, Congressional Budget Office & lain sebagainya. Sedangkan Lembaga Kepresidenan (Eksekutif) didukung dengan Council of Economic Advisers, National Security Council, Office of Management and Budget & lain sebagainya. Akhirnya lembaga yudikatif didukung oleh United States Court of Appeals, Territorial Courts, federal Judicial Center & lain sebagainya.Dari gambaran tersebut jelas mana yang merupakan lembaga pendukung eksekutif, mana lembaga pendukung legislatif, & mana lembaga pendukung yudikatif.

Berbeda dengan di Belanda yang merupakan negara yang pernah menjajah Indonesia selama sekitar 350 tahun. Di Belanda disamping lembaga eksekutif, legislatif & yudikatif terdapat pula lembaga-lembaga yang bersifat independen, yang terdiri dari Council of State, Court of Audit, & National Ombudsman. Indonesia tampaknya mengikuti model Belanda atau negara-negara penganut Eropa Continental, akan tetapi belum ada pembedaan mana lembaga yang merupakan instansi pendukung eksekutif, legislatif, & yudikatif, sehingga belum dapat diketahui fungsi cheks and balance masing-masing lembaga.

Di Indonesia ketentuan suatu institusi masuk dalam katagorii lembaga negara ditentukan melalui peraturan perundang-undangan. Berdasarkan UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dinyatakan bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut;
  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
  • Peraturan Pemerintah
  • Peraturan Presiden
  • Peraturan Daerah.
Apabila melihat hirarkhi peraturan perundang-undangan tersebut diatas, timbul pertanyaan, apakah suatu lembaga negara yang pembentukannya melalui berbagai peraturan perundang-undangan menandakan pula bahwa lembaga yang dibentuk atau diberi kewenangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, mempunyai arti pula bahwa lembaga negara yang bersangkutan lebih rendah pula kedudukannya dibandingkan dengan lembaga negara yang dibentuk melalui peraturan yang lebih tinggi.

3. Kedudukan & Wewenang Lembaga Negara
Banyaknya jumlah lembaga negara (lembaga yang dibentuk oleh negara), berakibat bahwa terdapat lembaga-lembaga tertentu yang tugasnya secara jelas disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga-lembaga yang termasuk dalam kaitan dengan fungsi eksekutif, legislative, & yudikatif secara murni jelas tugas & kewenangannya, misalnya Presiden & Wakil Presiden, DPR, MA, MK,. Terdapat pula lembaga yang kurang jelas tugas & kewenangannya seperti Komisi Ombudsman.

Disamping itu, terdapat pula komisi-komisi lain yang patut dipertanyakan apakah komisi-komisi tersebut bersifat permanen atau bersifat sementara. Hal ini penting sebab banyak komisi yang sebenarnya tugas-tugas yang dilakukannya telah dilakukan oleh eksekutif misalnya KPK yang sebenarnya tugasnya telah dilaksanakan oleh pihak Kepolisian & Kejaksaan, begitu pula Komisi Ombudsman yang sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengawasi kinerja aparatnya, demikian pula tugas yang diemban oleh DPR. Apakah jika permasalahan yang mendesak misalnya pemberantasan korupsi telah dapat diminimalisasi, berarti KPK dapat dibubarkan.

Kedudukan & wewenang Lembaga Legara ;
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Paska amandemen UUD 1945 kedudukan & wewenang MPR dibandingkan dengan kedudukan & wewenangnya di masa sebelumnya, setidaknya terdapat dua perubahan mendasar pada MPR, yaitu perubahan susunan keanggotaan serta perubahan kewenangan MPR, yang berimplikasi pada perubahan dalam tata hubungannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya (Hamdan Zoelva, Paradigma Baru Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD 1945, Makalah Diklat Departemen Dalam Negeri, 13 November 2003, Jakarta).

Pertama, keanggotaan MPR, saat ini terdiri atas anggota DPR & anggota DPD yang dipilih melalui Pemilihan Umum. Jika anggota DPR dipilih melalui pemilu dengan dasar partai, maka DPD dipilih berdasarkan wilayah atau daerah. Anggota MPR terdiri atas 550 anggota DPR & 132 anggota DPD.

Kedua, perubahan Pasal 1 ayat (2) yang sebelumnya berbunyi ‗kedaulatan ditangan rakyat & sepenuhnya dilaksanakan oleh MPR‘, menjadi berbunyi ‗Kedaulatan ditangan rakyat & dijalankan menurut Undang-Undang Dasar‘. Artinya MPR bukan lagi penjelmaan rakyat sepenuhnya, karena apa yang dijalankan oleh MPR hanya merupakan perintah Undang-Undang Dasar.

Dalam UUD 1945 (paska perubahan) dipertegas tugas & kewenangan MPR yaitu; mengubah & menetapkan UUD, melantik Presiden & Wakil Presiden, memberhentikan Presiden & atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD‘ (Lihat Pasal 3 UUD 1945 RI). Selain itu hubungan antara MPR dengan lembaga negara lainnya (secara langsung) hanya dengan Mahkamah Konstitusi, yaitu apabila ada dugaan DPR bahwa presiden/Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden seperti yang dimaksudkan dalam UUD (Lihat Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 dan UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).

MPR saat ini secara de jure tidak lagi disebut sebagai lembaga tertinggi negara, akan tetapi mengingat kewenangannya dapat memberhentikan Presiden/Wakil Presiden, ada pendapat MPR secara de facto sebagai lembaga tertinggi negara.

b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Amandemen UUD 1945 khususnya perubahan ketiga, telah menempatkan DPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan & kewenangan yang lebih besar dibanding masa sebelumnya. Keanggotaan DPR seluruhnya merupakan hasil pemilihan umum, tidak ada lagi anggota yang diangkat demikian juga kewenangannya semakin jelas.

DPR sebagai lembaga legialatif mempunyai kewenangan membentuk Undang-Undang, (Lihat Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945) denganb persetujuan bersama Presiden. Undang-Undang yang telah disetujui oleh DPR dapat berlaku walaupun tanpa ada tanda tangan Presiden (tanda tangan Presiden dapat diartikan persetujuan Presiden atas adanya suatu undang-undang). Dengan demikian seharusnya DPR-lah yang harus proaktif agar pembentukan Undang-Undang dapat sinergis satu sama lain, dibentuknya Badan legislatif (Baleg) DPR yang bertugas menangani pembentukan Undang-Undang dapat menjadi motor bagi terbentuknya Undang-Undang yang aspiratif & realistis.
Selain kewenangan legislatif tersebut di atas, DPR juga sebagai lembaga negara yang berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan & untuk melaksanakan fungsinya tersebut DPR dibekali dengan berbagai hak oleh Undang-Undang yaitu hak interpelasi, hak angket, & hak menyatakan pendapat. Disamping itu juga perubahan UUD 1945 semakin menguatkan tugas & fungsi DPR melalui keharusan Presiden mengkonsultasikan atau mendapat persetujuan atau pertimbangan DPR beberapa hak prerogatifnya. Hal itu terutama terjadi pada pengangkatan pejabat negara tertentu (Panglima TNI, Kapolri & lain sebagainya) & pengangkatan duta besar & penempatan duta besar negara lain.

Disamping itu untuk memperkuat kewenangan DPR dalam pengawasan kinerja dilengkapi dengan hak sub-poena, yaitu hak untuk memanggil seseorang, dengan disertai ancaman pidana bagi pihak-pihak yang tidak memenuhi pemanggilan tersebut, walaupun samapi saat ini masih menjadi polemik.

c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
DPD dapat dikatakan sebagai lembaga atau institusi baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pembentukan DPD adalah suatu sarana bagi orang daerah untuk turut serta dalam menentukan kebijakan tingkat nasional, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan daerah.

Keanggotaan DPD adalah sama untuk setiap provinsi & jumlah seluruh anggotanya tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (Lihat Pasal 22C ayat (2) UUD RI 1945). Jumlah anggota DPD saat ini sebanyak 132 orang dengan rincian setiap provinsi mempunyai 4 anggota DPD dari 33 Provinsi yang ada. Adanya DPD menunjukkan kesan bahwa kedudukan setiap Provinsi adalah sama sebagai bagian integral wilayah Indonesia tanpa memandang baik besar kecilnya jumlah penduduk, besar kecilnya wilayah, maupun besar kecilnya sumber daya yang dimiliki.

Kewenangan bidang legislasi DPD adalah dapat mengajukan usul RUU kepada DPR & turut serta membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat & daerah, pembentukan & pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam & sumberdaya ekonomi lainnya & hal-hal yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat & daerah. Disamping itu DPD juga dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, & RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan & agama (Lihat Pasal UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Dalam kaitan dengan kewenangan dibidang pengawasan DPD sangat terbatas sebab hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan yang ikut dibahas & diberikan pertimbangan oleh DPD & hasil pengawasannya disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan & untuk ditindaklanjuti.

d. Presiden & wakil Presiden
Presiden & wakil presiden dalam sistem ketatanegaraan merupakan satu paket yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi & dibantu oleh seorang wakil Presiden berikut para menteri.

Kedudukan & kewenangan Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia paska amandemen UUD 1945 telah banyak tereduksi. Banyak hak prerogatif Presiden yang dalam pelaksanaannya harus mendapat persetujuan atau pertimbangan terlebih dahulu dari DPR. Bahkan dalam kewenangan legislatif secara jelas berpindah tangan dari yang sebelumnya Presiden mempunyai hak legislatif saat ini yang mempunyai kewenangan legislatif adalah DPR (Lihat Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945).

Dalam hal terjadi sengketa kewenangan antara lembaga negara termasuk kewenangan presiden dengan lembaga negara lainnya (yang kewenangannya diberikan oleh UUD), Presiden harus tunduk pada keputusan Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 & kekuasaan lain meliputi : dibidang legislasi mengajukan RUU kepada DPR & menetapkan Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (1) & (2)); menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu Pasal 22 UUD) & memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL & AU; menyatakan perang, membuat perdamaian, & perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR, menyatakan keadaan bahaya, mengangkat duta & konsul; memberi amnesti, abolisi & grasi; serta banyak kewenangan-kewenangan eksekutif lain yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

Demikian besar kewenangan yang diberikan kepada Presiden, sehingga terdapat lembaga negara yang lain dibentuk untuk mengawasi kewenangan Presiden. Khusus di Indonesia lembaga Kepresidenan sering dikatakan sebagai RI satu sebab dialah yang menjalankan tugas kenegaraan paling besar, pada Presiden terletak dua jabatan sekaligus yaitu sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Presiden dengan alat-alat kelengkapan negara-lah yang dapat menentukan jalannya suatu negara. Kekuasaan negara khususnya Presiden yang dapat menentukan suatu negara menjadi negara yang otoriter atau demokratis.

Kedudukan & kewenangan Presiden/Wakil Presiden pasca perubahan UUD 1945 banyak terkurangi kewenangannya. Hal itu tampak dari adanya keharusan untuk meminta pertimbangan dari DPR dalam beberapa penunjukan pejabat publik dan tidak ada lagi kewenangan Presiden untuk mengangkat sebagian anggota dewan.

e. Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung RI adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang jelas-jelas merupakan pengejawantahan ajaran Trias Politica yaitu lembaga yudikatif. Lembaga ini merupakan puncak bagi pencari keadian yang diberikan oleh negara. MA sebagai puncak dari badan peradilan di bawahnya yang meliputi : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, & Peradilan Tata Usaha Negara.

Mahkamah Agung RI mempunyai kedudukan yang sejajar dengan lembaga negara lainnya. Mahkamah Agung adalah kekuasaan kehakiman yang bertujuan menyelenggarakan peradilan yang bebas & merdeka dari pengaruh kekuasaan apapun.

Berdasarkan UUD 1945 Mahkamah Agung RI mempunyai kewenangan di bidang kekuasaan kehakiman (Pasal 24 ayat (2)}; mengadili pada tingkat kasasi {Pasal 24A ayat (1)}; menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang; mengajukan tiga orang calon hakim agung & hakim konstitusi untuk ditetapkan oleh Presiden; & wewenang lain yang diberikan oleh Undang-Undang.

Sebagai lembaga yudikatif, Mahakamah Agung RI merupakan benteng terakhir para pencai keadilan bagi masyarakat. Baik buruknya kinerja Mahakamah Agung akan berpengaruh terhadap rasa keadilan masyarakat. Kebebasan hakim untuk menentukan salah & benar tanpa dapat dipengaruhi oeh kekuasaan lainnya dapat dijadikan acuan bagi Mahakamah Agung untuk bertindak & bekerja sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

f. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Tugas Mahkamah Konstitusii sebenarnya tugas Mahkamah Agung yang dipisahkan. Pada beberapa negara, tugas Mahkamah Konstitusi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung misalnya di Amerika Serikat.

Mahkamah Konstitusi berkedudukan sejajar dengan Lembaga negara lainnya, bahkan dalam beberapa hal Mahkamah Konstitusi dianggap lebih tinggi dibandingkan kedudukan lembaga negara lainnya, sebab ia dapat memutus sengketa antar lembaga negara.

Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk mengawal agar pelaksanaan tugas kenegaraan yang dilakukan sesuai dengan jiwa dari konstitusi sebagai bagian dari negara hukum. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Kewenangan Mahkamah Konstitusi meliputi : menguji Undang-Undang (kesesuaiannya) dengan UUD {Pasal 24C ayat (1)}; memutus sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; memutus pembubaran Partai Politik, memutus perselisihan sengketa hasil pemilihan umum (pemilu); & memutus pendapat DPR mengenai adanya dugaan pelanggaran oleh Presiden & /atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.{Pasal 24C ayat (2)}.

Sebagai lembaga negara yang mempunyai kekuasaan kehakiman yang bebas & merdeka, Mahkamah Konstitusi dapat memainkan peran yang sangat penting bagi terciptanya keharmonisan hubungan antar lembaga negara (khususnya lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD). Disamping itu akan semakin memperjelas kewenangan masing-masing lembaga negara, sehingga dapat digunakan terus untuk mengawal agar jiwa dari konstitusi dapat dipertahankan.

g. Badan Pemeriksa keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi pengelolaan keuangan negara. BPK dibentuk sejak masa Indonesia merdeka sebab disadari bahwa mengelola keuangan negara akan sangat rumit & rawan dari penyalahgunaan. Pengawasan pengelolaan keuangan negara memerlukan keahliah khusus & lembaga yang kedudukannya sejajar dengan lembaga negara lainnya agar dapat dilakukan pengawasan secara efektif & efisien.

Dalam UUD 1945 paska perubahan, BPK diatur dalam Pasal 23E, Pasal 23F & Pasal 23G. BPK mempunyai tugas memeriksa pengelolaan & tanggung jawab keuangan negara. Hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD & DPRD sesuai dengan kewenangannya untuk ditindaklanjuti. Oleh karena itu, BPK lebih tepat disebut sebagai lembaga negara yang merupakan counter part dari lembaga legislatif dalam mengawasi lembaga eksekutif khususnya di bidang keuangan.

Keanggotaan BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD & peresmiannya dilakukan oleh Presiden. Anggota BPK yang dipilih adalah ketua didampingi oleh beberapa anggota. BPK berkedudukan di Ibukota Negara & memiliki perwakilan pada setiap Provinsi.

Untuk menjalankan tugasnya BPK diberikan kewenangan oleh UUD. Kewenangan BPK meliputi : memeriksa pengelolaan & tanggungjawab keuangan negara (terhadap semua lembaga negara), kemudian menyerahkan hasil pemeriksaan tersebut kepada DPR, DPD, & DPRD untuk ditindak lanjuti sesuai dengan kewenanganya {Pasal 23E ayat (2)}. Disamping itu banyak pula hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan negara diserahkan kepada pimpinan lembaga negara sebagai bahan atau acuan untuk segera ditindaklanjuti oleh pimpinan lembaga yang bersangkutan.

h. Komisi Yudisial
Komisi Yudisial adalah sebuah wacana baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dalam UUD RI Komisi Yudisial tidak disebut sebagai lembaga negara hanya dikatakan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung & mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga & menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Lihat Pasal 24B ayat (1) UUD 1945). Pengawasan hanya terbatas terhadap hakim yang terdapat pada Mahkamah Agung beserta jajaran di bawahnya, tidak meliputi hakim-hakim Mahkamah Konstitusi 

Keanggotaan Komisi Yudisial diangkat & diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Adapun syarat menjadi anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan & pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas & kepribadian yang tidak tercela (Lihat Pasal 24B ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945). Sedangkan susunan, kedudukan, & keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang.

Adanya ketentuan bahwa kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) dipilih secara demokratis juga menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugasnya mempunyai kaitan dalam pencapaian tujuan negara (mensejahterakan masyarakat secara luas).

Sedangkan organisasi kekuasaan di luar dari yang disebutkan di atas tidak disebut sebagai lembaga negara, walaupun dalam Undang-Undang yang mengaturnya disebut lembaga negara.

Struktur Ketatanegaraan (Syahrial Syarbini, Drs.,MA., Pancasila di Perguruan Tinggi, Galia Indonesia, Juni 2003, hal.137), berdasarkan perubahan pasal-pasal UUD 1945 tentang kelembagaan Negara, sebelum & sesudah perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut;

Struktur Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD  Struktur Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD 1945
Gambar 1
Struktur Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD  Struktur Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD 1945
Gambar 2

 Kesimpulan Analisis;
Struktur Ketatanegaraan
  • Belum terdapat kriteria jelas mengenai yang disebut sebagai Negara dalam peraturan perundang-undangan nasional
  • Lembaga Negara harus didefinisikan sebagai organisasi kekuasaan yang mempunyai peranan dalam pencapaian tugas Negara sebagai akibat terjadinya pembagian kekuasaan & yang diatur dalam Undang-Undang dasar.
  • Pembentukan lembaga-lembaga baru harus difikir secara bijaksana manfaatnya bagi kemajuan bangsa & Negara, bukan semata penciptaan kekuasaan belaka.
Sumber Referensi;
  1. Abraham Amos, H.F., Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Dari Orla, Orba, Sampai Reformasi), Penerbit PT. Raja Grafika Persada, Jakarta, Desember 2004.
  2. Bambang Widjojanto, Saldi Isra, Marwan Mas (Ed.,) Konstitusi Baru melalui Komisi Konstitusi Independen (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002).
  3. Budiardjo Miriam, Prof.DR. Dasar-dasar Ilmu Politik, Penerbit Gramedia Jakarta, Cetakan ketiga, Agustus 1979.
  4. Carlton Clipmer Rodee, Carl Quimbly Cristol Totton James Anderson, Thomas H. Greene, Pengantar Ilmu Politik (Judul Asli Introduction to Political Science) Penerbit Raja Grafindo. Cetakan kelima, Februari 2002.
  5. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3 Jilid 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2001).
  6. Duverger Maurice, Sosiologi Politik, Grafika Persada Cetakan Kelima, Jakarta, April 1996.
  7. Ferejohn, John and Jack N. Rakove, Jonathan Riley (Ed.,) Constitutional Culture and Democratic Rule (Cambridge: Cambridge University Press, 2001).
  8. S.E. Finer, Vernon Bogdanor, Bernard Rudden, Comparing Constitutions, (Oxford: Clarendon Press, 1996).
  9. Gaffar Afan, Prof.DR., Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi, Penerbit Pustaka Pelajar Jogyakarta, Cetakan Kedua Februari 2000.
  10. Harun Alrasid, UUD 45 Terlalu Summier? Kepala Biro Pendidikan FHUI Sarankan Perubahan” dalam Harun Alrasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Tiga Kali Diubah oleh MPR (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 51-52.
  11. 146
  12. Kantaprawira Rusadi, DR.,S.H., Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar (edisi Revisi), Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung, Cetakan ke delapan : 2002.
  13. MD, Moh. Mahfud,―Perkembangan Politik Hukum Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia”. (Disertasi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta, 1993). Disertasi ini sudah dibukukan dengan judul Politik Hukum Di Indonesia. (Jakarta: LP3ES, 1998).
  14. MD, Moh Mahfud, Prof.DR.,S.H.,M.H., Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi), Penerbit Rineka Cipta Jakarta, Cetakan kedua Juni 2001.
  15. Mochamad Isnaeni Ramdhan, Tugas dan Wewenang Wakil Presiden Republik Indonesia Menurut Hukum Tata Negara (Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran: Bandung, 2003).
  16. Niccolo Machiavelli, Il Principe, Sang Penguasa, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, Cetakan keenam September 2002.
  17. Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Penerbit PT. Rineka Cipta Jakarta, Cetakan Pertama Februari 2001.
  18. Simorangkir, JCT, Penetapan UUD, Dilihat dari Segi Hukum Tata Negara di Indonesia (Jakarta: Gunung Agung, 1984).
  19. Seidman Ann, Robert B. Seidman Nolin Abeyeskere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang demokratis, sebuah panduan untuk membuat Rancangan Undang-Undang, ELIPS II, Edisi Kedua, Mei 2002.
  20. Soeprapto Maria Farida Indrati, DR., S.H.,M.H. Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Penerbit Kanisius 1998
  21. Soekanto Suryono, Prof. DR.,S.H. Sosiologi Suatu Pengantar, Penerbit Universitas Indonesia, Cetakan kelima, Maret 1977.
  22. 147
  23. Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Persepsi Terhadap Prosedur Dan Sistem Sistem Perubahan Konstitusi Dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Cet.4. (Bandung: Alumni, 1987).
  24. Strong, CF, Modern Political Constitutions, An Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Forms 8th edition reprinted. (Sidgwick and Jackson: London, 1973), hlm.9.
  25. Suharizal, S.H.M.H., Firdaus Arifin, S.H., Refleksi Reformasi Konstitusi 1998-2002, (Beberapa gagasan menuju amandemen kelima UUD 1945)
  26. Suseno Franz Magnis, Kuasa dan Moral, Penerbit PT. Gramedia Jakarta, Cetakan Kedua, Maret 1988.
  27. Syarbaini Syahrial, Drs.,MA., Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, Penerbit Ghalia Indonesia, Cetakan Pertama, Juni 2003.
  28. Wheare, KC, Modern Constitutions. (London-New York-Toronto: Oxford University Press, 1976)
*Belajarlah dengan rajin, demi Bangsa dan Negara kita!!! Semoga belajar maupun kehidupan anda sukses!!!