Jumat, 17 April 2020

Kisah Seram - Gubuk Hantu

Wawan Setiawan Tirta
 













Meski dalam kegelapan, ia bisa melihat raut wajah mereka yang menampakkan kesedihan dan ketakutan mendalam. Mungkin itu ekspresi mereka pada detik-detik terakhir menghadapi maut akibat kekejaman orang yang mereka cintai

HENDRA, seorang mahasiswa perguruan tinggi di Surabaya yang juga anggota pencinta alam di perguruan tinggi itu, tengah berkemas-kemas menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan ke dalam ransel tuanya. Hari ini ia bersama empat orang rekan sesama anggota pencinta alam berencana hendak mendaki gunung Welirang.

Sebenarnya bukan baru kali ini mereka mendaki gunung itu, tapi hari ini mereka akan mencoba rute baru yang belum pernah mereka tempuh sebelumnya. Setelah berpamitan kepada ibunya, Hendra memacu motornya menuju kampus di timur Surabaya. Di sana telah menanti empat sahabatnya, Deddy, Sigit, Chairul dan Erni. Erni adalah ketua rombongan dan satu-satunya wanita yang turut dalam pendakian itu.

Dengan memperhitungkan waktu yang akan mereka jalani dan resikonya, mereka sengaja membawa perbekalan lebih dari biasanya. Dipimpin oleh Chairul, mereka bersama-sama berdoa terlebih dahulu, kegiatan wajib yang harus dilakukan sebelum berangkat ke lokasi tujuan.

Setelah segala sesuatunya siap mereka pun meninggalkan kampus dengan mengendarai tiga sepeda motor. Sepeda motor itu kemudian dititipkan di terminal dan mereka menumpang kendaraan umum menuju ke arah Malang dan berganti kendaraan umum lainnya yang mendekati dusun sebagai lokasi awal menuju rute pendakian.

Singkat cerita mereka pun memulai perjalanan dengan jalan kaki saat matahari tepat berada di atas ubun-ubun.

Beberapa rumah penduduk dan hamparan pematang sawah telah mereka lalui. Pepohonan dan semak-belukar mulai menghiasi kiri-kanan jalan setapak. Sesekali mereka berpapasan dan menyapa penduduk desa yang memikul beberapa ikat kayu di pundaknya. Makin ke atas jalan setapak itu makin terjal. Udaranya pun makin terasa sejuk. Hal ini membuat Hendra dan kawan-kawannya makin bersemangat. Kicauan burung dan gesekan dedaunan yang dihembus angin menjadi kidung pengiring langkah mereka.

Cuaca yang semula cerah mendadak berubah mendung. Disusul kemudian dengan jatuhnya rintik-rintik air yang mula-mula jarang menjadi makin deras. Hendra dan kawan-kawannya bergegas menuju ke bawah pohon yang cukup rindang. Serentak mereka menurunkan ransel di punggung masing-masing dan mengeluarkan jas hujannya untuk kemudian dikenakan. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan menembus guyuran hujan dan sesekali dentuman guruh di langit yang gelap. Jalan setapak menjadi agak licin yang membuat mereka kadang terpeleset. Erni mengisyaratkan kepada anggotanya untuk lebih berhati-hati dalam melangkah. Ia menghentikan langkahnya saat Hendra memanggilnya dengan agak berteriak.

“Er, kita istirahat sebentar ya. Perutku agak mules nih,” kata Hendra.

“Oke, kita cari tempat yang agak lapang untuk istirahat. Perutku juga sudah lapar,” tukas Erni.

Beberapa meter ke depan mereka menjumpai dataran yang lapang dikelilingi semak-belukar. Di tempat itu mereka mendirikan satu buah tenda untuk berlindung dari siraman hujan yang tak kunjung reda.

Setalah membantu memasang tenda, Hendra bergegas meninggalkan rekan-rekannya. Di belakangnya menyusul Deddy. “Aku ikut, Hen. Aku juga mau buang air kecil,” kata Deddy.

Berdua mereka mencari tempat yang sesuai dengan yang mereka inginkan. “Hen, kamu agak jauh sana. Biar baunya nggak menyebar ke mana-mana,” kata Deddy dengan nada bercanda. Hendra tak menjawab. Ia pun tak ingin privasi buang hajatnya terganggu orang lain. Setengah berlari ia masuk ke hutan yang lebih dalam.

Belum jauh ia melangkah, matanya melihat atap sebuah bangunan di balik rimbunan pohon. Sejenak ia merasa heran. “Di hutan begini ada juga rumah,” pikirnya. Tapi ia segera menepis keheranannya karena desakan di dalam perutnya makin kuat. “Lumayan, ada tempat nggenah untuk buang hajat. Daripada di tempat sembarangan,” katanya dalam hati.

“Assalamu'alaikum”, ucap Hendra begitu tiba di depan pintu rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Kondisinya cukup memprihatinkan. Di beberapa bagian dinding dan atapnya terlihat bekas-bekas hangus. Karena tak ada yang menyahut, Hendra berjalan ke samping dan menemukan semacam bilik mandi beratapkan daun rumbia yang bersebelahan dengan gubuk itu. Tanpa pikir panjang Hendra bergegas masuk. Begitu melihat ada kakus dan segentong air di sisi kakus, Hendra pun melepas hajatnya.


Usai buang air besar, Hendra kembali ke depan gubuk dan berharap bertemu pemiliknya untuk sekedar mengucapkan terima kasih. Saat melintas di depan jendela samping gubuk Hendra melihat sesosok manusia di dalamnya yang agak gelap. Hendra melongokkan wajahnya ke jendela dan samar-samar melihat seorang wanita tengah menggendong bocah perempuan berumur sekitar dua tahunan berdiri menatapnya.

“Maaf, Bu. Saya baru saja pinjam kakusnya. Tadi tidak ada orang jadi saya nyelonong saja ke dalam,” ujar Hendra dengan agak tersipu-sipu. Tapi wanita itu tak menjawabnya. Karena terburu-buru, Hendra segera berlalu dari situ setelah mengucapkan terima kasih dan permintaan maaf sekali lagi.

Hujan sudah mulai berkurang, tapi jalanan yang dilaluinya masih licin. Sesampainya di tenda tempat rekan-rekannya berkumpul ada seorang laki-laki setengah baya tengah bercakap-cakap dengan Erni dan Sigit di luar tenda.

Dari seragam yang dikenakan di balik mantel hujannya Hendra tahu kalau laki-laki itu adalah petugas penjaga hutan seperti yang biasa ia temui saat melakukan pendakian.

“Sudah lega, Hen ?” tanya Sigit. Hendra tersenyum sembari menjawab,“Plong. Untung ada kakus di sana”.

“Kakus? Mana ada kakus di tengah hutan begini ? Oh ya, pak. Ini Hendra, anggota tim saya. Hen, kenalkan ini Pak Thoyib, pengawas hutan ini,” kata Erni sambil memperkenalkan Hendra kepada petugas itu.

“Maksudku ada rumah di sana dan aku numpang di kakusnya,” ujar Hendra.

“Maksud Nak Hendra rumah gubuk di dalam hutan itu ?” sela Pak Thoyib.

“Iya, Pak. Tadinya saya kira kosong, tapi setelah selesai buang air saya baru bertemu dengan penghuninya,” jawab Hendra.

“Penghuninya ?” tanya Pak Thoyib dengan dahi mengernyit. “Memangnya Nak Hendra bertemu siapa di sana ?”

“Seorang wanita dan anaknya”.

“Benarkah ?” sekali lagi petugas itu bertanya seakan tak percaya dengan jawaban Hendra.

“Betul, Pak. Kenapa ? Bapak kenal dengan mereka ?” Hendra menatap Pak Thoyib dengan wajah penasaran.

Pak Thoyib terdiam sesaat. Hendra berpandangan dengan Erni.

Petugas bermantel kuning itu memalingkan wajahnya ke arah hutan di mana gubuk itu berada.

“Apakah Nak Hendra sempat bertatap muka dan bicara dengan mereka ?”

“Sempat, Pak. Tapi mereka tak menjawab. Mereka diam saja di dalam gubuk yang agak gelap. Mungkin mereka takut kepada saya. Bapak kenal dengan mereka ?” jawab Hendra sambil mengulangi pertanyaannya.

“Saya kenal baik dengan mereka. Namanya Misnah dan anaknya, Ratri,” Pak Thoyib menjawab dengan suara lirih.

“Kalau begitu, tolong sampaikan maaf saya kepada Bu Mis …”

Pak Thoyib memotong ucapan Hendra, “Tapi dulu. Sebelum mereka tewas terbakar di dalam gubuknya sekitar satu bulan yang lalu”. Wajah Pak Thoyib menegang.

Erni, Sigit dan Hendra terbelalak kaget.

“Ja … jadi mereka …?” Bibir Hendra gemetar.

“Ya, mereka sudah mati. Saat kami periksa, pintu gubuk mereka dalam keadaan terkunci. Dan Yatno, suami Misnah, hingga kini tak pernah menampakkan batang hidungnya. Polisi menduga Yatno sengaja membakar gubuknya agar anak dan istrinya mati”.

“Kejam sekali. Yatno pastilah orang gila. Mana ada orang waras yang tega membunuh keluarganya sendiri ?!?” tukas Erni dengan nada emosi.

“Konon kabarnya, Yatno mendengar isu di kalangan penduduk sini kalau Misnah berselingkuh dengan seorang pedagang sayur dari Blitar. Dan Ratri diisukan hasil perselingkuhan itu. Tadinya Yatno tidak percaya, tapi yah … namanya manusia, sangat mudah dirasuki iblis. Mungkin karena itu Yatno jadi kalap …”

Hendra menundukkan kepalanya. Tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup kencang. Masih jelas di pelupuk matanya tatapan wanita dan bocah perempuan dalam gubuk itu. Meski dalam kegelapan, ia bisa melihat raut wajah mereka yang menampakkan kesedihan dan ketakutan mendalam. Mungkin itu ekspresi mereka pada detik-detik t rakhir menghadapi maut akibat kekejaman orang yang mereka cintai.

Dan Hendra tak akan pernah bisa melupakan ekspresi itu. Setidaknya dalam waktu dekat ini.
(DA)R.47


Sumber