Rabu, 30 Oktober 2019

Sastra dan Ilmu Bantunya | Ilmu Memahami Karya Sastra

Wawan Setiawan Tirta

Sastra dan Ilmu Bantunya | Ilmu Memahami Karya Sastra


Mempelajari sastra pada dasarnya adalah mempelajari kehidupan. Pendapat tersebut mengacu pada teori sastra yang mengatakan bahwa sastra merupakan cermin kehidupan (teori mimesis/mimetik). Oleh karena yang dipelajari adalah kehidupan, maka untuk bisa memahami sastra juga diperlukan ilmu kehidupan lain, berarti juga diperlukan pemahaman terhadap disiplin ilmu lain untuk bisa memahami sebuah sastra di samping ilmu tentang sastra.

Ilmu sastra erat kaitannya dengan ilmu bahasa karena sastra
menggunakan bahasa sebagai medianya. Seorang sastrawan harus memahami bahasa untuk bisa menggunakan bahasa (kata) tersebut dalam karyanya. Bahkan WS Rendra mengaku selalu membuka kamus bahasa Indonesia dalam memilih kata untuk menulis puisi-puisinya. Dengan melakukan hal itu, jelas berarti bahwa sastra sangat dekat dengan ilmu bahasa.

Selain berhubungan langsung dan bisa diibaratkan sebagai kembar siam, bahasa dan sastra Indonesia selalu diajarkan. Mulai dari SD hingga perguran tinggi, pembelajaran bahasa dan sastra selalu melekat. Di bangku perkuliahan, justru lebih tampak. Ada fakultas sastra, di sebagian universitas dinamakan fakultas ilmu budaya, pasti ada prodi bahasa Indonesia. Prodi bahasa Indonesia ini pasti mempelajari bahasa dan sastra, tinggal ada spesifikasi jurusan. Memilih antara ilmu sastra Indonesia dan ilmu bahasa Indonesia. Lain lagi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Ada program studi PBSI. Dari namanya saja sudah jelas bahwa yang dipelajari adalah bahasa sekaligus sastranya: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Sebagai mahasiswa FKIP tentu tak asing dengan mata kuliah sosiologi sastra, sejarah sastra, psikologi sastra. Ketiga mata kuliah secara eksplisit disebutkan bahwa mata kuliah sastra digabung dengan disiplin ilmu yang lain yaitu: sosiologi, sejarah, dan psikologi. Sebenarnya ilmu bantu dalam membahami atau mempelajari sastra adalah ilmu.

Ketiga disiplin ilmu tersebut (sosiologi, psikologi, dan sejarah) bisa diterapkan secara parsial, tetapi bisa juga diterapkan menjadi satu kesatuan yang utuh. Misalnya, sebuah karya sastra roman yang berjudul Nyali karya Putu Wijaya, untuk memahaminya perlu didekati dengan tiga ilmu tersebut di samping dengan ilmu dan pengetahuan tentang sastra.

Penggunaan ilmu sejarah, disesuaikan dengan pengetahuan sejarah umum. Jika memahami keadaan (sejarah) Indonesia dengan cukup lengkap. Maka, akan menimbulkan penafsiran yang komprehensif dan pasti akan langsung mengarah pada peristiwa G 30 S dan implikasi setelahnya. Yaitu tentang pelengseran kekuasaan, penciptaan kekuatan pemberontak yang selalu dijaga eksistensinya (tidak benar-benar ditumpas sampai habis).

Dengan menggunakan pendekatan sosiologi maka juga akan diketahui bahwa keadaan sosial politik dalam novel roman Nyali juga sangat Indonesia meskipun menggunakan tokoh yang bukan Indonesia. Dalam novel tersebut ada tokoh kolonel dan tokoh baginda. Ini gambaran Indonesia. Selain itu, kehidupan sosialnya juga Indonesia banget.

Pendekatan psikologi digunakan untuk memahami tokoh-tokoh dan wataknya. Dengan pendekatan psikologi yang tepat maka akan dapat diketahui seberapa bermaknanya sebuah karya sastra. Karya sastra yang ‘asal tulis’ dapat diketahui dengan kedangkalan karakter tokoh yang diceritakan. Juga dapat diketahui melalui penggambaran wataknya. Pada dasarnya, psikologi manusia di dunia nyata harus diketahui melalui analisis, bukan disebutkan sendiri oleh orang tersebut. Begitu halnya dengan psikologi tokoh dalam karya sastra, seharusnya pencariannya melalui analisis yang mendalam terhadap karya sastra tersebut.